Rabu, 26 Maret 2008

Kampanye internet

Community educator Ponpes An-nizhomiyyah Labuan Agus Chotibul Umam terbilang pemuda yang kreatif. Selain aktif mengajar, ia biasa memanfaatkan waktu untuk kegiatan positif seperti menyampaikan internet kepada masyarakat Labuan, mulai dari anak-anak hingga orangtua.

Ia mengaku sudah hampir satu tahun memberikan pembelajaran internet gratis kepada masyarakat Labuan. Warga diminta datang dan siap belajar. "Sebetulnya ini program International Centre for Islam and Pluralism (ICIP) untuk pesantren. Tapi karena saya melihat teknologi ini baik untuk masyarakat, saya ajak warga untuk belajar," ujarnya kepada Radar Banten, Sabtu (23/3).

Tak kurang dari 500 warga Labuan yang belajar internet di Ponpes An-Nizhomiyyah. Mereka merupakan warga belajar paket A, B, dan C, ditambah santri dan warga yang masih duduk di bangku sekolah dasar (SD).

sumber: Radar Banten, 26 Februari 2008

Minggu, 24 Februari 2008

Kabupaten Pandeglang, Banten

Sebagai sebuah provinsi yang kesenjangan kemajuan dan ketertinggala sangat kontras, pada awalnya Banten dikenal sebagai kota pelabuhan, yang memiliki posisi geografis yang sangat strategis. Terletak di ujung bagian Barat pulau Jawa dan berada di pintu Selat Sunda, Banten dapat dikatakan berfungsi sebagai pintu gerbang Barat dari kepulauan Nusantara. Dalam catatan sejarah, Pendudukan Malaka oleh Portugis pada tahun 1511 dapat dikatakan sebagai suatu berkah tersembunyi bagi Banten. Sejak itu, pedagang Muslim mengalihkan jalur pelayarannya melalui pantai barat Sumatera dan tibalah di Banten, maka kemudian Banten berkembang menjadi pelabuhan transito para pedagang Islam dalam pelayaran ke bagian timur Nusantara. Catatan sejarah di Banten menjadi faktor penting sejarah nasional Indonesia.

Sekarang, setelah enam tahun menjadi provinsi, Banten belum berhasil memperkecil kesenjangan di antara ketertinggalan dan kemajuan yang ada. Status sebagai provinsi diperoleh Banten pada 4 Oktober 2000 melalui UU Nomor 23, yang dulunya merupakan salah satu keresidenan di Jawa Barat. Ada empat kabupaten (Tangerang, Serang, Pandeglang, Lebak) dan dua kota (Tangerang dan Cilegon) yang tergabung di dalamnya.

Paling tidak terdapat 7 isu fundamental pembangunan daerah yang dihadapi Banten saat ini, yaitu: Masalah penanganan Kemiskinan, Kesehatan Dasar, Pendidikan, Perekonomian Daerah, Sarana dan Prasarana Wilayah, Pengelolaan SDA dan LH, dan Kepemerintahan Daerah.

1. Kemiskinan, terdapat paling tidak 6 indikator mendasar persoalan kemiskinan yang kita hadapi, yang beberapa diantaranya adalah (Gandung Ismanto, dalam Fajar Banten 21 Februari 2007): (1) Realitas proporsi penduduk miskin masih tinggi yang mencapai 8,58% terhadap jumlah penduduk, sementara menurut BKKBN mencapai 24,39% dari jumlah KK (yang bila dikonversi dengan asumsi jumlah rata-rata anggota keluarga tidak berubah (3,93), maka berarti jumlah penduduk miskin akan mencapai 1.892.836 jiwa (20,84%), bukan hanya 779.200 jiwa (8,58%); (2) Karakteristik kemiskinan terdistribusi dalam 35,92% di wilayah perkotaan dan 64,08% di wilayah perdesaan, dengan sebaran secara berurutan: Lebak 42,95%, Pandeglang 39,77%, Serang 25,69%, Cilegon 9,37%, Tangerang 13,79%, dan Kota Tangerang 5,1% (Smeru, 2004); dan (3) Angka Daya Beli Masyarakat baru mencapai Rp. 618.000 atau 84,00% dari Standar Minimal UNDP; (4) 230.457 (20%) keluarga menempati rumah tidak layak huni.

2. Pendidikan, terdapat 16 indikator yang beberapa diantaranya adalah: (1) Pengeluaran per kapita untuk pendidikan hanya berkisar 22,85% atau sekitar Rp.142.000; (2) ARLS baru mencapai 8,5 tahun, atau setara kelas 2 SMP; (3) 46,31% penduduk berpendidikan SD, 13,76% tamat SLTP, 15,48% tamat SMA, 13,86% Diploma/Sarjana, dan sisanya, 10,59% masyarakat tidak diketahui tingkat pendidikannya; (4) Belum memadainya rasio kelas-siswa: SD/MI 49 siswa/kelas, SLTP/MTs 42 siswa/kelas, dan SMA/MA 199 siswa/kelas; (5) 63,99% dari ruang kelas SD/MI dalam kondisi rusak, SLTP/MTs 37,12% dan SMA/MA/SMK 12,76%; (6) Kesenjangan daya tampung Sekolah: Lulusan SD/MI rata2/th mencapai 168.000 lulusan; SMP/MTs 124.000 lulusan; dan SMA/MA 69.000 lulusan, yang artinya terdapat 44.000 lulusan SD tak tertampung di SMP, dan 25.000 lulusan SMP tak tertampung di SMA; (7) Sekitar 50% guru pada tahun 2009 akan pensiun; dan lain-lain.

3. Kesehatan Dasar, terdapat 18 indikator terukur yang beberapa diantaranya adalah: (1) Rendahnya porsi pengeluaran per kapita untuk kesehatan yang hanya berkisar 1,33% atau sekitar Rp.6.180; (2) AHH baru mencapai 64,1 tahun; (3) Disparitas ketersediaan prasarana dan sarana kesehatan, tercatat 20 unit Rumah Sakit tersebar di wilayah utara dan 4 unit lainnya di wilayah selatan; (4) Daya tampung RS di wilayah utara mencapai 81.656 jiwa/RS, sementara di utara hanya 136.803 jiwa/RS; (5) Puskesmas tersebar 63,95% atau 110 unit di wilayah utara, dan 36,05% atau 62 unit tersebar di selatan; (6) 4.190 tenaga kesehatan atau 80,76% tersebar di wilayah utara, sementara sisanya 19,24% atau 998 orang tersebar di selatan (2005); (7) Angka Kematian Bayi mencapai 54,1; (9) Baru 59,7% bayi lahir yang ditolong oleh tenaga medis; dan lain-lain.

4. Perekonomian Daerah, terdapat 14 indikator penting dalam bidang perekonomian daerah, beberapa diantaranya adalah: (1) 57,14% dari 1.221 desa tergolong desa tertinggal, yang terdiri dari 458 desa tertinggal di daerah tertinggal dan 306 desa tertinggal di daerah non tertinggal (Meneg PDT, 17 April 2006); (2) Rendahnya akses permodalan bagi UMKM, realisasi kredit bagi UMKM hanya sebesar Rp. 40,174 Milyar, sehingga rata-rata setiap unit UMKM hanya menerima kredit sebesar Rp. 31.952 (2005); (3) UMKM mampu menyerap 1.256.471 tenaga kerja atau 31,99% terhadap total tenaga kerja, sementara pemberdayaannya belum cukup memadai; (4) Disparitas orientasi lokasi investasi masih sangat tinggi, 98,09% terkonsentrasi di Utara, 1,01% di Selatan; (5) Tingkat pendapatan per kapita petani dan nelayan rata-rata baru mencapai Rp. 8 juta /kapita/tahun atau setara dengan Rp. 667 ribu/kapita/bulan; (7) Penanganan potensi kawasan wisata alam dan spiritual masih belum optimal; dan lain-lain.

5. Pada bidang Sarana dan Prasarana Wilayah terdapat 14 indikator yang beberapa diantaranya adalah: (1) Terbatasnya akses transportasi dalam mengurangi kesenjangan antar wilayah; (2) Belum memadainya kuantitas dan kualitas jaringan jalan, khususnya sepanjang 889,01 km jalan yang menjadi kewenangan Provinsi, dimana sekitar 13,89% (123,46 km) berada dalam kondisi baik, 53,91% (479,25 km) dalam kondisi sedang, serta 32,20% (286,30 km) berada dalam kondisi rusak ringan hingga rusak berat (2005); (3) Kurang memadainya fasilitas perlengkapan jalan serta terminal angkutan dan barang; (4) Belum optimalnya penanganan Bandara Internasional Soetta sebagai sumber pendapatan daerah; (5) Jaringan trayek transportasi antar daerah belum terstruktur dan terpadu; (6) Jaringan irigasi lintas kabupaten/kota terkelola sepanjang 866.915 m atau seluas 82.848 Ha, dengan kondisi 22,87% atau sepanjang 198.288 m tidak dapat berfungsi, 132.190 m (15,25%) dalam kondisi rusak ringan, sisanya dalam kondisi baik 536.437 m (61,88%) (2005); (7) Baru sekitar 70% desa yang terjangkau jaringan listrik; dan lain-lain.

6. Permasalahan pengelolaan SDA dan LH, terdapat 14 indikator nyata yang masih menjadi permasalahan, beberapa diantaranya: (1) Belum terpadu dan serasinya penataan ruang antara kepentingan nasional, provinsi dan kabupaten/kota; (2) Adanya degradasi kawasan hutan seluas 474.400 Ha yang berubah fungsi menjadi alang-alang, semak belukar, pertanian, tambak, pertambangan, dan lain-lain; (3) 32,57% sungai lintas kabupaten/kota rusak berat; (4) 8 buah Situ/Danau yang dikelola Provinsi Banten dalam kondisi rusak; (5) Pencemaran daerah pesisir dan laut di bagian utara dan barat Provinsi Banten; dan lain-lain.

7. Pada bidang kepemerintahan daerah, terdapat 19 indikator yang beberapa diantaranya: (1) Belum memadainya kerjasama dan koordinasi antar pemerintahan daerah dalam mengatasi isu-isu regional yang fundamental; (2) Sekitar 33,38% pegawai di lingkungan Pemerintah Provinsi Banten memiliki tingkat pendidikan non kesarjanaan (tamatan SD hingga D.II); (3) PAD masih bertumpu pada pendapatan dari Pajak Daerah (96,98%); (4) Kualitas perencanaan, pengendalian, pengawasan dan evaluasi pembangunan, dimana proses dan hasil perencanaan, pengendalian dan evaluasi di tingkat daerah dan SKPD belum dapat diselenggarakan secara terpadu, tepat materi dan tepat waktu; (5) Kurang responsifnya pemerintah provinsi terhadap aspirasi pemekaran wilayah; (6) Kualitas pekerjaan proyek-proyek pemerintah provinsi yang sangat memprihatinkan; (7) Lemahnya law enforcement terhadap pelanggaran-pelanggaran dan/ penyimpangan dalam pemerintahan serta pelaksanaan proyek-proyek pembangunan; (9) Lemahnya komitmen untuk membumikan motto Iman Taqwa dalam setiap proses kepemerintahan dan pembangunan daerah; dan lain-lain.

Pembangunan di Banten seolah menghasilkan dua daerah yang berbeda: utara dan selatan. Wilayah utara meliputi Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Serang, dan Kota Cilegon, luasnya 3.193,97 kilometer persegi, dihuni oleh sekitar 6 juta penduduk. Wilayah selatan meliputi Kabupaten Lebak dan Kabupaten Pandeglang dengan luas 5.606,86 kilometer persegi. Sesuai dengan kebijakan nasional yang menetapkan wilayah utara sebagai kawasan industri, kegiatan ekonominya didominasi industri, perdagangan, dan jasa. Wilayah selatan adalah daerah pertanian, pertambangan, perkebunan, dan pariwisata (www.banten.go.id).

Kurang lebih ada 17 kawasan industri strategis di Banten, antara lain Krakatau Industrial Estate Cilegon (KIEC), Nikomas Gemilang Industrial Estate, dan Modern Cikande Industrial Estate. Menurut Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD) Provinsi Banten, pada tahun 2005 terdapat 17 proyek penanaman modal dalam negeri (PMDN) yang disetujui dengan nilai investasi Rp 705 miliar, dan 92 proyek penanaman modal asing (PMA) dengan nilai investasi 1,9 juta dollar AS. Semua proyek PMA dan PMDN ini melibatkan 22.311 tenaga kerja, 256 orang di antaranya adalah tenaga kerja asing.

Pengonsentrasian industri di bagian utara mengakibatkan prasarana transportasi berupa jalan darat terpusat di Banten utara. Posisi wilayah kabupaten dan kota di bagian utara yang berdekatan dengan Jakarta juga berimbas terhadap pertumbuhan ekonomi di daerah ini. Karena masuk dalam wilayah pengembangan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek), Kabupaten dan Kota Tangerang menikmati "limpahan kemewahan" dari Jakarta. Karakteristik pertumbuhannya bisa dikatakan sama dengan Ibu Kota dan daerah penyangga lainnya seperti Bogor, Depok, dan Bekasi. Secara fisik perkembangan itu terlihat lewat pertumbuhan permukiman dengan rumah-rumah berharga ratusan juta hingga miliaran rupiah. Di Kota Tangerang terdapat perumahan Modernland (di Kecamatan Tangerang), Banjar Wijaya di Kecamatan Cipondoh, dan Metro Permata di Kecamatan Karang Tengah. Di Kabupaten Tangerang permukiman kaum berduit yang bekerja di Jakarta lebih marak lagi. Salah satunya adalah Bumi Serpong Damai di Kecamatan Serpong.

Imbas yang menguntungkan Kota dan Kabupaten Tangerang dari Jakarta terlihat pula pada kontribusi PDRB yang tinggi terhadap PDRB Provinsi Banten. PDRB Kota Tangerang yang mencapai Rp 21,01 triliun tahun 2005 memberikan kontribusi 34,2 persen terhadap PDRB Provinsi Banten yang nilainya Rp 61,35 triliun, sedangkan kontribusi dari Kabupaten Tangerang 26,38 persen. Dapat dikatakan, Kota dan Kabupaten Tangerang menjadi motor pertumbuhan bagi Banten.

Jika Banten utara tampak gemerlap, Banten selatan sebaliknya. Kemiskinan dan ketertinggalan tercium dari desa-desa di Kecamatan Cimaraga, Muncang, Cipanas, Cikulur, Bojongmanik di Kabupaten Lebak. Kondisi yang hampir sama dijumpai di desa-desa di Kecamatan Angsana, Pagelaran, Cigelulis, Cikeusik, dan Panimbang di Kabupaten Lebak.

Pada kedua kabupaten ini perkembangan wilayah terhambat oleh kondisi alam. Kawasan sekitar Gunung Halimun-Kendeng hingga Malingping, Leuwidamar hingga Bayah berupa pegunungan yang relatif sulit dijangkau. PDRB Kabupaten Lebak tahun 2005 hanya Rp 3,28 triliun (5,36 persen) dan Kabupaten Pandeglang cuma Rp 3,36 triliun (5,48 persen) (BE Julianery dalam Kompas, 2006).

Kabupaten Pandeglang salah satu daru dua kabupaten termiskin berumur seratus tigapuluh tiga tahun. Tidak banyak yang berubah di Kabupaten Pandeglang, sebelum dan sesudah menjadi provinsi Banten. Di Pandeglang bank masih sedikit, dan jarang sekali ditemukan pusat perbelanjaan seperti Matahari dan Ramayana, tidak ada sama sekali. Namun, setiap akhir pekan dan hari libur sebagian warga Jakarta dan sekitarnya membanjiri tempat wisata yang terdapat di sepanjang pantai. Mulai dari Pantai Carita, Tanjung Lesung, hingga Ujung Kulon. Tidak jarang hotel berbintang dan berbagai bentuk rumah peristirahatan selalu dipenuhi orang-orang dari luar daerah.

Pantai barat Pandeglang berkembang begitu pesat. Namun demikian, belum mampu memberi kemajuan berarti bagi penduduk lokal. Pasalnya, perusahaan akomodasi seperti hotel dan penginapan masih banyak mempekerjakan kaum pendatang. Sementara itu, penduduk lokal hanya diberi kesempatan sebagai petugas keamanan dan kebersihan. Secara tersirat dapat dikatakan, sumber daya manusia Kabupaten Pandeglang belum mampu bersaing. Kecamatan Labuan dan Panimbang di pantai barat dan Kecamatan Pandeglang di sisi utara merupakan pusat pertumbuhan ekonomi kabupaten. Sedang 19 kecamatan lainnya belum mampu memacu perekonomiannya.

Dalam bidang pendidikan, di Banten sudah ada kelas bermain untuk anak di bawah usia lima tahun (balita), perguruan tinggi berstandar internasional, sekolah khusus untuk orang asing, dan lembaga pendidikan dengan biaya yang hitungannya menggunakan dollar AS. Namun, Banten juga mencatat angka putus sekolah yang tinggi, minimnya sarana pendidikan, dan adanya warga yang buta huruf. Saat pencanangan Hari Aksara Internasional Ke-41 di Provinsi Banten (12/9/2006), Pelaksana Tugas Gubernur Banten, Hj Ratu Atut Chosiyah, menyatakan sedikitnya ada setengah juta penduduk Banten yang buta aksara.

Ketidakmampuan penduduk mengenal abjad bisa jadi akibat kemiskinan. Ketika pemerintah pusat melancarkan kebijaksanaan memberikan bantuan langsung tunai sesudah kenaikan harga bahan bakar minyak Oktober 2005, pada pelaksanaan tahap pertama untuk Kabupaten Tangerang saja terdapat 152.000 keluarga miskin yang berhak atas bantuan itu. Tahun 2006, di Banten tercatat 702.000 keluarga miskin yang hidup di bawah garis kemiskinan. Jumlah ini setara dengan 34,2 persen dari total keluarga di provinsi itu. Penduduk yang belum memiliki rumah layak huni mencapai 750.000 keluarga (49,3 persen).

Dalam bidang kesehatan, berdasar pada data di Dinas Kesehatan Provinsi Banten (6/9/2006), menunjukkan, selama dua bulan terakhir jumlah penderita gizi buruk di Kabupaten Serang meningkat dari 2.084 meningkat menjadi 2.297, di Kabupaten Pandeglang bertambah dari 2.268 menjadi 2.376. Selain itu, penambahan serupa juga terjadi di Kota Tangerang sebanyak 233 orang, dan di Kota Cilegon sebanyak 224 orang sementara data dari Kota Tangerang hingga saat ini belum tercantum di Dinkes Banten.

Demografi

Posisi Geografis Propinsi Banten berada antara 5o7'50" – 7o1'11" LS dan 105o1'11" – 106o'7’12" BT, dengan luas wilayah 9.160,70 km2. Wilayah terluas adalah Kabupaten Pandeglang dengan luas 3.746,90 km2 dan wilayah terkecil adalah Kota Tangerang dengan luas 164,21 km2. Di bagian Utara, wilayah Propinsi Banten berbatasan dengan Laut Jawa. Batas sebelah Barat adalah Selat Sunda, sebelah Timur adalah Samudera Hindia dan batas sebelah Timur adalah Propinsi Jawa Barat. Oleh karena dikelilingi oleh laut, maka Provinsi Banten memiliki sumber daya laut yang potensial.

Data BPS (2003) menunjukkan bahwa jumlah keluarga prasejahtera di Pandeglang menempati urutan kedua, dan angkat penganguran menempati urutan pertama di Provinsi Banten. Hal ini dapat dijelaskan karena Pandeglang sedang menghadapi perubahan yang mendadak, karena status provinsi baru Banten. Misalnya harga tanah menjadi lebih tinggi, mahal. Kehidupan agraris masyarakat dengan kepemilikan lahan untuk dijadikan basis ekonomi, seiiring meningkatnya harga jual tanah, tak sedikit warga menjual tanahnya. Pengalihan fungsi lahan ini banyak terjadi di dekat-dekat tempat yang potensi menjadi lahan wisata, termasuk di Kecamatan Labuan. Ditinjau dari jenis kelamin, di Pandeglang jumlah penduduk laki-laki lebih banyak daripada jumlah penduduk perempuan. Data BPS juga menunjukkan bahwa angka pertambahan penduduk di Banten cukup signifikan dari pada tahun 2003.

Kesejahteraan

Dalam penelitian ini pendapatan per kapita dan angka pertumbuhan ekonomi tidak digunakan untuk mengukur kesejahteraan masyarakat di Jakarta dan di Banten. Dan, indikator-indikator yang digunakan di antaranya: akses masyarakat terhadap listrik, mata pencaharian, dan akses masyarakat terhadap rumah. Rumah adalah kebutuhan pokok setiap manusia, namun untuk memilkinya tidaklah semudah seperti menghirup udara bebas. Faktor kesejahteraan menjadi penentu utama seseorang untuk mengakses rumah, apalagi di Jakarta lahan sangat mahal. Dengan pertimbangan ini, untuk melihat kesejahteraan masyarakat rumah dapat dijadikan indikator. Dengan menggunakan data dari BPS, angka yang tertera di dalamnya paling tidak akan dapat kita ketahui tingkat kesejahteraan masyarakat.

Akses terhadap listrik di Kabupaten Pandeglang masih tidak merata. Misalnya di di Desa Sukaresmi, Kubangkampil, dan Cikuya, Kecamatan Sukaresmi, sebanyak 3.996 kepala keluarga (KK) yang bermukim hingga kini belum menikmati listrik. Desa Kubangkampil yang paling banyak, yakni sekitar 1.200 KK. Sementara sisanya berada di desa-desa lain, seperti Desa Sukaresmi, Cikuya, Cibungur, dan beberapa desa lainnya. Dari dulu daerah ini belum pernah tersentuh prolisdes. Mereka terpaksa menggunakan lampu cempor dan petromak sebagai penerangan di malam hari. Akibatnya, sumber daya manusia (SDM) ketiga desa itu masih rendah karena tak ada informasi yang bisa diakses dari media elektronik. Belum adanya listrik juga mengakibatkan masyarakat kurang memerhatikan pendidikan anak.

Tempat tinggal adalah titik awal dan titik akhir, dari sini semua kegiatan barawal dan berakhir. Rumah merupakan barang yang dapat dikonsumsi sesuai dengan kapasitas ekonomi, kesejahteraan yang dimilikinya, dan kondisi ini dapat dijadikan penjelas kesejahteraan masyarakat. Berdasakan data BPS tahun 2003 pada tabel 9 di atas masyarakat Kabupaten Pandeglang menempati rumah permanen nomor dua tersedikit, setelah Kota Cilegon. Sedangkan bangunan rumah di bantaran kali jumlahnya paling banyak, 5676 buah, yang dihuni 6086 keluarga. Sementara itu, jumlah rumah kumuh di Pandeglang menempati urutan pertama di Provinsi Banten, 4507 rumah, yang dihuni 5732 keluarga. Dari data-data yang ada dapat dikatakan bahwa kesejahteraan masyarakat Pandeglang berada di tingkat bawah (BPS, 2003).

Pendidikan

Secara umum, kualitas pendidikan di Indonesia sangat memprihatinkan. Buktinya, data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala yang menunjukkan, indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999).

Sementara itu, menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Ironisnya, posisi Indonesia berada di bawah Vietnam. Data yang dilaporkan The World Economic Forum Swedia (2000), Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvei di dunia. Masih menurut survai dari lembaga yang sama Indonesia hanya berpredikat sebagai follower bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia. Rendahnya kualitas pendidikan Indonesia itu juga ditunjukkan data Balitbang (2003) bahwa dari 146.052 SD di Indonesia ternyata hanya delapan sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years Program (PYP). Dari 20.918 SMP di Indonesia ternyata juga hanya delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Middle Years Program (MYP) dan dari 8.036 SMA ternyata hanya tujuh sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Diploma Program (DP).

Pada awal tahun 2007 di Kabupaten Pandeglang 42 ribu warganya tercatat masih buta huruf. Kondisi ini terjadi akibat minimnya anggaran untuk pemberantasan buta huruf. Dari 42 ribu warga yang buta huruf akan berkurang menjadi 22 ribu pada akhir tahun 2007. Sementara itu, di sekolah, madrasah, di bawah naungan departemen agama Kabupaten Pandeglang pada tahun ajaran 2005/2006 jumlah siswa yang putus sekolah masih cukup tinggi, 52 siswa (Kandepag Kabupaten Pandeglang, 2007).

Jumlah anak usia sekolah setingkat SD di Pandeglang cukup banyak 4648 orang, atau sebesar 3 %. Artinya, 100 anak usia sekolah 3 dari mereka tidak sekolah. Kecamatan yang memiliki anak usia sekolah setingkat SD dan tidak mengenyam pendidikan terbanyak adalah Cibitung, 1218 dari 4658 anak. Boleh dikatakan angka ini mengalami penurunan, artinya minat anak terhadap sekolah semakin meningkat. Hal ini merupakan sebuah langkah yang cukup baik, karena selama ini pendidikan di mata masyarakat masih dipandang belum terlalu penting (Kantor Departemen Pendidikan Kabupaten Pandeglang Tahun 2006).

Sementara itu, jumlah anak usia sekolah setingkat SLTP jumlahnya banyak, 10248 orang atau 14 %. Ini artinya 100 anak usia sekolah setingkat SLTP di Pandeglang 14 dari mereka tidak mengenyam pendidikan sekolah atau pesantren. Namun, minat mengikuti program kesetaraan cukup tinggi, 2279 anak. Kecamatan yang terletak di pesisir barat pulau Jawa, Panimbang, memiliki jumlah anak yang tidak bersekolah atau tidak berpesantren paling banyak, 2189 dari 9807 anak (Kantor Departemen Pendidikan Kabupaten Pandeglang Tahun 2006).

Pendidikan yang Dibutuhkan

Proses pendidikan di Indonesia sedang berlangsung. Secara umum, hingga waktu kini, pendidikan masih jalan di tempat, belum beranjak ke suatu perubahan, apalagi perubahan yang radikal. Masyarakat, dalam proses ini diambang kebimbangan, dalam proses yang sedang berlangasung ini. Perdebatan klise: ke mana oreintasi sistem pendidikan Indonesia, apakah menuju pendidikan praktis, atau pada peningkatan intelekutal. Memang pemisahan ini seolah-olah seorang praktisi tidak dapat menjadi intelektual, atau sebaliknya. Untung saja, sekarang perdebatan ini telah menemui jalan tengahnya, dengan memberikan pilihan kepada keduanya, dengan pertimbangan waktu dan kondisi tertentu.

Ketika dihadapkan pilihan untuk bersikap, antara pilihan pendidikan ketrampilan atau pendidikan umum (setingkat SMP dan SMA) dari wawancara dengan narasumber di dua tempat yang berbeda, Jakarta dan Pandeglang, muncul kesamaan pilihan yaitu pendidikan yang beroreintasi cepat mendapatkan pekerjaan. Artinya, baik masyarakat umum maupun pengambil dan pelaku kebijakan di bidang pendidikan memandang pendidikan yang dibutuhkan masyarakat sekarang, di daearahnya, adalah pendidikan yang dapat diterima di pasar kerja. Jika pilihannya pendidikan ketrampilan, maka ketrampilan yang dipilih adalah yang sedang dibutuhkan di daerahnya. Sedangkan apabila pilihan pendidikan umum, maka orientasinya adalah yang dapat meningkatkan karir (bagi yang sudah bekerja) dan agar dapat masuk pasar kerja (mendapatkan ijasah untuk melamar kerja).

Berikut pendapat narasumber tentang pendidikan yang dibutuhkan masyarakat di daerahnya. Kakandepag Kabupaten Pandeglang, Drs. H. RD. Hidayatullah berpendapat bahwa pendidikan yang tepat untuk program pendidikan jarak jauh ini adalah pendidikan yang memunyai cirikhas keagamaan, dan pendidikan ketrampilan yang dibutuhkan adalah komputer. Namun di ruang kantornya yang bersih itu, karena setiap orang yang masuk harus menyopot sepatu, ia juga memandang bahwa pesantren yang masih banyak mengajarkan dengan pola salafiah memunyai kelemahan ketika memasuki dunia kerja, parasantri tidak berijasah. Untuk itu, ia menyarankan agar program pendidikan jarak jauh ini juga dapat menghasilkan ijasah, agar para santri yang mengikuti dapat terjun ke dunia kerja.

Pendapat senada diutarakan oleh Ketua Seksi Pekapontren Kakandepag Kabupaten Pandeglang, H. Ghofur, SH. Di ruang kerja yang tidak begitu besar dan penuh asap rokok ini lelaki bertubuh gempal ini seolah mengamini pendapat bosnya. Selain mengamini pendapat Kandepag Pandeglang, lelaki yang ramah dengan semua tamunya, tak terkecuali wartawan bodrek dan LSM merpati dan kuda ini, juga menambahkan bahwa pesantren di Pandeglang yang banyak namun kecil (jika dihitung dari jumlah santrinya) program pemerintah (Depag) untuk memberikan kemudahan mendapatkan ijasah kepada santri sangat baik. Hal ini akan memberikan kesempatan kepada santri untuk tidak saja bekerja di bidang keagamaan saja, namun santri juga dapat bekerja di bidang apa saja. Bekal agama yang dimilikinya akan menjadi modal yang kuat untuk bermasyarakat dan akan memiliki nilai yang lebih jika dibandingkan dengan murid pada umumnya.

Tak jauh dari kantor Departemen Agama Kabupaten Pandeglang, 2 km ke arah barat, di Kantor Dinas Pendidikan Kabupaten Pandelang, pendapat yang nyaris sama dilontarkan oleh Kepala Seksi PLS Drs. Agus Rusli. Lelaki asal Garut yang sudah lama tinggal di Pandeglang ini berujar bahwa di Pandeglang pendidikan cocok adalah ketrampilan yang siap untuk pangsa kerja. Selain itu, didasari pada masih tingginya masyarakat yang tidak berijasah, maka ia mengharapkan selain pendidikan ketrampilan, pendidikan umum (kesetaraan SMP dan SMA) juga masih sangat relevan. Minat untuk mendapatkan ijasah di Pandeglang sangat tinggi. Misalnya, di PKBM Karya Mandiri, Kecamatan Cikedal, warganya 700 orang.

Tokoh masyarakat desa Sukamaju dan pengelola pesantren An Nizhomiyyah, Labuan, Pandeglang memandang bahwa antusiasme masyarakat kebanyakan di desanya terhadap pendidikan sangat rendah. Bahkan, kecenderungan ini sekarang semakin meningkat, semakin rendah. Hal ini dapat dilihat dari semakin menurunnya minat pendidikan formal dan pendidikan di pesantren. Sebaliknya, anak usia sekolah yang tidak sekolah semakin banyak. Drs. Dikdik, tokoh masyarakat, guru PNS dan guru di MTs An Nizhomiyyah berujar bahwa masyarakat desa di sini (Sukamaju) minat terhadap pendidikan sangat rendah. Para orangtua seolah tidak mendukung anak-anaknya untuk bersekolah. Mereka (masyarakat usia sekolah) lebih memilih mencari uang, misalnya menjadi tukang ojek, atau bekerja lainnya. Melihat pilihan ini orang tua tidak mendorong anaknya untuk (kembali) ke sekolah, bahkan mereka malah mendukung pilihan anaknya, dengan memberikan modal agar anaknya bekerja, mencari uang.

Pilihan masyarakat ini dapat dipahami dengan melihat strategisnya desa mereka terhadap aset ekonomi, yaitu dekat dengan terminal bus antarkota-antraprovinsi dan perlintasan daerah wisata. Padahal, di desa Sukamaju warga masyarakat yang mengenyam pendidikan tinggi (tingkat S1 & S2) boleh dikatakan tidak sedikit, bahkan, di desa ini juga terdapat tempat tinggal anggota DPRD Banten dan Kabupaten. Melihat kenyataan ini, rendahnya minat masyarakat terhadap pendidikan, Drs. Dikdik, mengharapkan pendidikan yang diterapkan dalam program pendidikan jarak jauh adalah pendidikan ketrampilan. Misalnya, ketrampilan komputer, ketrampilan menyopir, dan pendidikan ketrampilan yang cocok dengan daerah dekat tempat wisata (sayang ia tidak menyebutkan apa contohnya).

Suara dari tokoh masyarakat ini agak berbeda dengan pendapat Carik desa Sukamaju, Mat Supi. Di rumah sederhananya, perangkat desa yang berusia muda (kurang lebih dari 30 tahunan) berpendapat, pendidikan kesetaraan paket B dan C sangat cocok untuk warga desanya. Menurutnya, dengan nada optimis, jika tahun ini dibuka program ini (kesetaraan SMP atau SMA) maka para pesertanya akan banyak.

Pendapat dari pengelola pesantren tentang pendidikan yang baiknya diterapkan dalam program pendidikan jarak jauh agak berbeda dengan pendapat paratokoh masyarakat. Kyai Encep Badruzzaman Raffly, salah satu pengelola pesantren An Nizhomiyyah, memandang pendidikan yang diterapkan untuk masyarakat bagusnya pendidikan yang lebih luas, yang dapat membawa intelekutalitas dan mentalitas masyarakat berubah. Bahkan, ia memimpikan sebuah tempat pendidikan di salah satu pulau di Pandeglang, yang pemandangannya sangat indah, seperti pendidikan ala Akademi Athena, di Yunani, pada jaman keemasan di Eropa. Hal senada juga diungkapkan oleh adiknya, pengelola teknis pesantren An Nizhomiyyah, Umam, bahwa pendidikan untuk membawa perubahan masyarakat adalah sangat penting. Namun ia pun menyadari bahwa masyarakat sekarang juga membutuhkan uang untuk kebutuhan mendesaknya. Sehingga, jika program pendidikan jarak jauh diterapkan pendidikan ketrampilan hendaknya juga ditambahi pendidikan yang mencerdaskan.

Penyelenggaraan Paket B dan C, serta Lifeskills

Di Pandeglang program penyelenggaraan Paket B dan C di lingkungan pesantren akan dimulai pada tahun ajaran 2006-2007. Karena tahun ini adalah pelaksanaan awal program kesetaraan, maka penyelenggaraanya masih terbatas. Menurut staf Seksi Pekapontren Kandepag Kabupaten Pandeglang, Nur Said S. Ag, terdapat tiga pesantren yang menyelenggarakan Paket B dan C, yaitu: Pesantren Nurul Hidayah (Paket B), Pesantren Al-Kalam (Paket A, B, dan C), dan Pesanten Baitul Banin (Paket C). Proses belajar mengajar pesantren diberikan kebebasan, sedangkan modul diberikan oleh kantor pusat depertemen agama, Jakarta.

Kehidupan pesantren

Pesantren di Indonesia memiliki sejarah yang sangat panjang, dan perannya tak dapat dianggap remeh terhadap perkembangan Islam di nusantara, bahkan di dunia. Sehingga, situasi lembaga pesantren harus dilihat dalam hubungannya dengan perkembangan Islam dalam jangka panjang, baik di Indonesia maupun di negeri-negeri Islam lainnya. Dan, perkembangan itu terus berlangsung.

Sebagai lembaga pendidikan, pesantren dapat dipandang sebagai tempat yang khusus. Sehingga untuk memahaminya kita dapat menjelaskannya dari unsur-unsur yang mendominasinya. Adapun yang dapat dianggap sebagai unsur utama pesantren: pondok (asrama), masjid, santri, sistem pengajaran, kyai, dan hubungan dengan dunia luar (baik dengan lingkunan sekitar maupun dengan lingkungan lebih luas).

Pengaruh kuat pesantren telah membentuk dan memelihara kehidupan sosial, kultural, politik, dan keagamaan masyarakat Banten, baik di perkotaan dan pedesaan. Pesantren dengan kesederhanaan bangunan-bangunan dalam pesantren, kesederhanaan cara hidup para santri, kepatuhan para santri kepada kyainya dan, mempelajari kitab-kitab Islam klasik telah menjadi kekhasan Kabupaten Pandeglang. Secara representatif Islam di pesantren Banten dapat diungkap secara mendalam dan menyeluruh melalui kitab kuning yang diajarkan. Paling tidak ada 100-115 kitab yang diajarkan di pesantren Pandeglang. Sejarah mencatat intelektualisme pesantren termasyhur bertaraf internasional dan menjadi guru besar di pusat Islam, Haramain (Makkah-Madinah), seperti Syeikh Nawawi al-Bantani, Syeikh Mahfudz al-Tirmasi, Syeikh Yasin al-Fadani, dan banyak lagi. Secara umum, untuk memahami pesantren ada tiga kecenderungan yang mungkin terjadi: kembali ke sistem dan struktur semula seperti belum terjadi perubahan-perubahan; mempertahankan status quo; atau mengembangkan pesantren agar berpartisipasi dalam proses sosial.

Lokasi

Pesantren ini terletak di ujung barat pulau Jawa. Secara administratif Pesantren An Nizhomiyyah masuk wilayah Desa Sukamaju, yang terletak di perbatasan daerah pantai dan pegunungan di Kabupaten Pandeglang. Namun demikian, letaknya tidak terpencil, karena tak kurang dari 1 km terdapat terminal bus Labuan. Jarak dengan kantor kecamatan pun kurang lebih 3 km, sedangkan jarak dengan kantor bupati kurang lebih 40 km.

Untuk mengunjungi desa ini dengan menggunakan sarana transportasi darat tidaklah sukar. Dari terminal Kalideres, Jakarta Barat, menuju tempat penelitian ini memakan waktu antara 4-5 jam, dengan menggunakan bus antarkota-antarprovinsi. Selain dari terminal Kalideres, perjalanan dengan transportasi umum dapat ditempuh dengan waktu yang relatif pendek dengan memutus jalur dari Kebun Jeruk, Jakarta Barat, menuju Kabupaten Serang (1-1,5 jam). Kemudian perjalanan dilanjutkan menuju Kecamatan Labuan (1,5-2,5 jam). Sedangkan dengan mengunakan sarana transportasi pribadi memakan waktu kurang lebih 3 jam.

Tidak lebih dari satu kilometer dari terminal bus Labuan perjalanan dilanjutkan ke arah barat kita sudah sampai Desa Sukamaju, dan untuk mencari kompleks bangunan Pondok Pesantren An Nizhomiyyah tidaklah sukar. Tak jauh dari terminal bus Labuan, di pinggir jalan sebelah kanan kita akan menemui papan nama berwarna kuning pucat yang bertuliskan nama pesantren, lambang pesantren, kegiatan yang diselenggarakan pesantren, dan alamat beserta nomor telponnya yang berwarna hitam. Hawa udara desa Sukamaju, dan kecamatan Labuan pada umumnya panas, tetapi tidak menyengat. Pepohonan dan persawahan masih banyak, permukiman penduduk tidaklah padat, dan kendaraan (baik roda 2 dan roda 4) lalu-lalangnya tidaklah terlalu padat.

Namun demikian, di Desa Sukamaju dan desa tetangganya, Cigondang, Kecamatan Labuan, sejak pertengahan tahun 2006 warganya menghadapi keresahan. Ketidaknyamanan warga ini sehubungan dengan kedatangan para calo tanah yang datang tanpa ”permisi” untuk membebaskan lahan yang akan digunakan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang berlokasi di Blok Ciantap, Desa Sukamaju, Kecamatan Labuan, sebanyak 60 hektar. Sejumlah masyarakat mengaku keberatan dengan beredarnya spekulan yang telah memborong tanah di lokasi PLTU seharga Rp 15 ribu hingga Rp 20 ribu per meter. Pasalnya harga beli itu bertentangan dengan harga ganti rugi yang akan dilakukan pemerintah sebesar Rp 60 hingga Rp 70 ribu per meter. Kata Sanja, warga Kampung Jaha Masjid, Desa Sukamaju, teknis pembelian yang dilakukan para calo adalah melalui perantara. Mereka datang setiap hari, masuk ke rumah-rumah penduduk. “Bagaimana warga bisa berpikir rasional, jika warga yang memiliki tanah di lokasi PLTU terus-terusan didatangani para calo”.

Suatu ketika seorang insinyur di Kota Serang berujar bahwa jalan menuju Banten Selatan sudah baik. Memang ada benarnya omongan insinyur yang sering mangkir dari proyeknya itu, jalan menuju ke Banten Selatan sudah baik. Namun, tidak semuanya sudah baik. Saat peneliti mengunjungi Pandeglang, kondisi jalan masih banyak jalan yang penuh lubang dan bergelombang. Kondisi ini sangat terasa tidak nyaman saat peneliti ke Labuan dengan menggunakan kendaraan roda dua dari Kabupaten Serang. Perjalanan di jalan yang tidak begitu lebar, kurang lebih lebarnya 5 m, lebih nyaman dengan menggunakan mobil pribadi. Kesan pertama menginjakkan kaki di desa Sukamaju aroma konflik sangat terasa. Karena merasa tidak nyaman ini peneliti baru masuk menemui perangkat desa dan masyarakat desa ini setelah kunjungan ke-4. Tiga kunjungan sebelumnya peneliti hanya melihat-lihat, dan kadang bertanya pada orang yang peneliti temui. Seolah seperti mendapatkan kemudahan, kunjungan ke-empat sangat nyaman dan semuanya berjalan lancar. Memasuki pesantren dapat bertemu dengan kyai yang sangat terkenal baik di kalangan warga dan lingkungan Kandepag Kabupaten Pandeglang. Dan, dari pertemuan pertama inilah penelitian selanjutnya dilakukan.

Pondok (Asrama)

Sekarang ini ada kecenderungan menurunnya masyarakat terhadap mondok di pesantren, termasuk di Pandeglang. Pesantren An Nizhomiyyah yang berdiri sejak tahun 1980-an ini sejak tahun 2000-an santri yang mondok semakin berkurang. Sehingga, bangunan pondok yang ada terlihat sepi dari aktifitas santri. Pondok di pesantren ini terdiri dari dua bangunan utama, satu untuk putri dan satunya lagi untuk putra. Bangunan yang berdiri sejak tahun 1980-an itu kini nampak tua dimakan umur. Pintu yang lapuk, cat dinding yang mengelupas, atap yang terlihat terkena rembesan air hujan, dan bolong-bolong tembok di sana-sini. Seolah sudah lama tidak direnovasi dan dibersihkan, bangunan untuk kamar putri dan putra terlihat sama kurang terawatnya. Akan tetapi, tumpukan buku berderetan dengan barang lainnya memperlihatkan bahwa kesan intelektual pada kamar sangat terasa.

Seolah tidak ada batasan interaksi dengan kyainya, bangunan yang terdiri dari dua lantai itu bersebelahan dengan pondok pengelola pesantren. Kurang lebih daya tampung pondokan, dengan kamar terdiri dari 4-6 orang, memuat 100-150 orang santri.

Masjid

Salah satu kelengkapan dalam pondok pesantren adalah rumah ibadah, masjid. Bagi kaum muslimin masjid merupakan titik awal dan titik akhir dalam beraktifitas, baik beribadah mahdhoh maupun beribadah mu’amalah. Kehadiran masjid di kompleks bangunan pondok pesantren menjadi tempat mengingat kebesaran sang pencipa (mushola), sebagai tempat belajar (madrasah), dan pusat kegiatan.

Di lingkungan kompleks pondok pesantren An Nizhomiyyah, masjid berada di dekat jalan. Bahkan terkesan seolah terpisah dengan pondok pesantren. Bangunannya kira-kira berusia 20 tahun. Kesucian tempat ibadah terlihat dari kebersihan ruang sholat utama dan teras. Pintu masjid yang selalu terbuka itu memiliki daya tampungnya kurang lebih 250 jamaah. Bentuk arsitekturnya sangat kuat nuansa arsitektur budaya Banten. Kesan masjid ini sebagai tempat sentral kegiatan para santri sangat tidak terasa, karena hiasan dinding yang menjelaskan struktur dan kegiatan pesantren tidak terlihat.

Santri

Santri menjadi ciri khas kota Pandeglang: kota santri. Namun, kultur santri yang berkembang sejak jaman kerajaan Banten ini sekarang mulai terkikis oleh roda modernisasi. Pergeseran nilai berlangsung semakin cepat, akibat desakan nilai-nilai baru. Ada yang masuk lewat produk-produk industri informasi, seperti media cetak dan audio-visual. Ada juga yang masuk lewat interaksi dengan masyarakat luar, karena sebagai daerah wisata. Dulu, pakian umum bagi kaum pria adalah sarung dan peci, kini telah berubah. Bahkan, Kota Pandeglang disebut juga sebagai kota sarung. Sedangkan pakian kaum perempuan jarit dan kerudung kini pun telah berubah. Kota santri Pandeglang kini sedang menunjukkan fenomena sosial yang menarik.

Santri di pesantren Pandeglang, termasuk di An Nizhomiyyah, ada yang menetap di asrama dan ada pula santri musiman/kalong. Di Pesantren An Nizhomiyyah santri kalong lebih banyak daripada santri yang menetap. Mereka datang dari berbagai daerah di Banten. Para santrinya mengkaji sebuah tema yang dipilih oleh kyai, yang dikontekskan dengan permasalahan yang sedang hangat dan kondisi masyarakat waktu itu. Kebanyakan mereka bukan anak-anak lagi. Mereka adalah para remaja, pemuda dan bapak/ibu. Para santri ini jumlahnya 200-an orang, namunmereka lebih suka disebut sebagai jamaah majlis taklim.

Sedangkan santri yang mondok di pesantren ini berjumlah 120 orang (putra dan putri). Mereka berasal dari masyarakat keluarga ekonomi menengah ke bawah. Asal mereka dari kota-kota di Provinsi Banten.

Kyai

Di Banten, Kyai dan jawara merupakan sub-kelompok masyarakat yang memainkan peran penting hingga saat ini. Meskipun peran dan kedudukan tradisional mereka terus digerogoti arus modernisasi yang semakin hegemonik. Namun demikian, perubahan-perubahan tersebut tidak sampai menghancurkan semua kedudukan dan peran sosial mereka secara menyeluruh. Kyai sampai kini tetap merupakan salah satu orang yang dihormati oleh masyarakat. Di samping tokoh-tokoh lain. Demikian pula jawara, selain berusaha untuk tampil lebih ramah sehingga bisa diterima masyarakat, mereka kini tidak hanya memainkan peran tradisional mereka, tetapi juga merambah pada sektor-sektor ekonomi dan politik di Banten. Apalagi setelah Banten menjadi sebuah propinsi yang mandiri, lepas dari wilayah Jawa Barat, peran jawara dalam percaturan bidang politik dan ekonomi memainkan peran yang sangat besar.

Provinsi Banten yang sangat kental nuansa keagamaan, peran tokoh agama sangat besar dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, kyai di Banten memiliki status sosial yang dihormati oleh masyarakat. Seolah mereka memiliki ketergantungan terhadap tokoh-tokoh agama dalam memandu kehidupan yang penuh ketidakpastian ini. Peran kyai dalam masyarakaat Banten pada masa kini tidak sepenting masa-masa yang lalu. Arus modernisasi yang banyak mengagungkan kepada materi dan menuntut profesionalisme dalam segala bidang, telah menempatkan kyai hanya pada peran-peran yang berkaitan langsung dengan masalah keagamaan. Sudah tidak banyak kyai yang memiliki peran yang menentukan di luar masalah keagamaan, seperti pada masa kolonialisme atau pada masa awal kemerdekaan RI dan zaman revolusi fisik tahun 1945-1950.

Salah satu kyai di pesantren ini memiliki kharisma yang sangat disegani oleh masyarakat Pandeglang. Setiap dua pekan sekali ia pernah kuliah di Iran ini mengadakan pengajian. Para santrinya terdiri dari berbagai kalangan masyarakat, dari petani sampai pejabat daerah. Pejabat tertinggi desa Sukamaju adalah murid setianya. Bahkan, bupati Pandeglang dulunya merupakan santrinya. Namun, karena sering melakukan pelayanan yang tidak memihak pada masyarakat, Kyai Encep Badruzzaman Raffly menolak kedatangan bupati di pesantrennya, sampai bupati yang sering menggunakan politik uang ini berubah menjadi baik kembali.

Jumlah pengajar pondok pesantren tidak banyak, hanya 3 orang. Jumlah ini sebenarnya sangat kurang, jumlah santri 80 orang, namun dengan jadwal yang disusun secara efektif proses pengajaran dapat berlangsung dengan baik.

Sistem Pengajaran

Dengan jumlah pengajar pondok yang terbatas, sistem pengajaran di pesantren ini masih menggunakan sistem klasik, kolosal, dengan jadwal yang teratur rapi. Pelajaran didapatkan santri pada ba’da subuh, ba’da asar, dan ba’da isya.

Manajemen dan Adminstrasi

Pesantren yang didirikan oleh KH. Tb. A. Rafe’i Ali ini menggunakan manajemen keluarga, namun demikian administrasinya dikelola secara profesional. Adapun susunan Pengurus Yayasan Syeikh Yusuf Makmun sebagai berikut:Ketua Umum KH. Tb. A. Rafe’i Ali; Wakil Ketua H. Tb. E. Badruzzaman Reffly; Sekretaris Umum H. E. Saefuddin Asnawi M,BA; Wakil sekretaris H. Dien Ucu Syaihabuddin Asnawi, M.Pd; Bendahara Dra. Neng Dara Affifah, M.Si; Anggota H. Tb. Ace Hasan Sadzily, M.Si, Nong Darol Mahmudah, M.Si, dan Deden Hidayatullah, A.Md.

Kerjasama Pesantren Dengan Kandepag Dan Kandindik

Di lingkungan Kandepag Pandeglang, Pesantren An Nizhomiyyah dikenal sangat baik dari banyak hal, misalnya kyainya, pengelolaan pesantren. Kesan ini didapatkan dari hasil kerjasama yang selama ini terjalin di antara mereka. Kerjasama yang terjalin di antaranya: Kandepag memberikan sepenuhnya program dan bantuan yang datang dari pusat. Sementara itu, di lingkungan Kandikda Pandeglang, pesantren ini kurang begitu dikenal, karena belum ada kerjasama di antara mereka.

Pandangan Terhadap HAM, Demokratisasi, Isu Perempuan, dan Pluralisme

Wacana HAM sesungguhnya sudah cukup memengaruhi pikiran masyarakat. Betapa tidak, dalam tingkat negara permasalahan yang menjunjung kemanusian ini telah ada regulasi dalam bentuk Undang-undang, di tingkat lembaga negara juga ada Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan Kementrian Kehakiman dan HAM. Bahkan di lembaga non-negara kita tidak asing lagi dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang sangat menjunjung HAM, yang ada hampir di setiap provinsi di Indonesia.

Senada dengan HAM adalah demokrasi. Wacana yang sudah ada sejak berdirinya bangsa ini pun di masyarakat bukan barang baru lagi. Sedangkan isu perempuan dan pluralisme yang mulai menjadi wacana baru di tanah air pada tahun 1980-an kehadirannya timbul-tenggelam, dan belum begitu mendarah daging di pikiran masyarakat. Namun, keempat isue di atas terasa wacana baru saat bangsa ini memasuki era reformasi. Kehadirannya seolah bagai sesuatu yang hilang dan telah ditemukan kembali, bahkan dianggap sebagai solusi terhadap keterpurukan yang dihadapi bangsa ini.

Di sela-sela melakukan wawancara dengan narasumber yang kompeten dalam penelitian need assassement ini keempat isue di atas menjadi bagian pertanyaan dan diskusi yang menyegarkan. Dan, benar dua isue pertama ditanggapi senada oleh narasumber. Artinya, secara teoritis bangsa ini telah mengambil, namun secara praktik masih jauh dari harapan.

Untuk mengkategorikan pendapat-pendapat dari narasumber tentang wacana baru ini, peneliti membagi dalam empat kelompok, yaitu: Pertama, mereka tahu wacana baru tersebut, dan melaksanakannya dalam lingkungan dan keseharian mereka. Kedua, mereka tahu wacana baru, namun untuk melaksanakannya belum sepenuhnya. Ketiga, mereka tidak tahu, namun telah melaksanakannya. Keempat mereka tidak tahu dan mereka menentang/tidak melakukannya.

Yang termasuk kelompok pertama adalah masyarakat di lingkungan pesantren: kyai dan pengelola pesantren. Bahkan, boleh dikatakan Kyai Encep Badruzzaman merupakan guru demokrasi dan plularisme. Dia mengelola majlis taklim dengan nama Lingkaran Masyarakat Bismillah. Dalam majelis ini ia berusaha mengajarkan Islam yang toleran, Islam yang rahmatan lil’alamin, Islam yang tidak memaksakan agama kepada pemeluk agama lain, Islam yang dapat bekerjasama dengan masyarakat apa pun. Tak jarang, dalam majlisnya ini didatangi oleh pejabat-pejabat kota setempat. Selain menjalankan pengajian, majlis ini juga melakukan aksi sosial berupa pendampingan terhadap masyarakat yang menjadi korban pembangunan. Dari sinilah demokrasi diajarkan tidak hanya dalam teori, namun juga dalam praktik.

Sentralistik dalam pesantren ini memang masih terasa, namun dengan pembawaan dan kharisma kyai yang membuka dialog dengan semua kalangan, termasuk santri, hal ini terbawa oleh para pengelola lain dan santrinya. Praktik demokrasi di pesantren ini dilakukan di lingkungan santri misalnya dalam pemutusan lurah santri.

Kelompok kedua adalah para birokrat, baik di lingkungan Kandepag maupun Kandindik Pandeglang. Secara prinsip mereka sangat paham akan demokrasi, HAM, isue perempuan, dan pluralisme, namun untuk mempraktikan tidak sepenuhnya mereka lakukan. Misalnya, pendapat dari Ka Kandepag H. Hidayatullah yang setuju bekerjasama antarumat beragama, namun saat di Pandeglang akan didirikan tempat ibadah, maka ia berujar akan menggerakkan masyarakat untuk menolak pembangunan tempat ibadah itu.[1]

Kelompok ketiga adalah para santri pesantren. Seolah mereka terbawa oleh gaya para pengelola pesantren. Saat wawancara, dua santri yang menjadi narasumber memberikan jawaban yang sepenuhnya kurang benar, namun mereka telah melaksanakan demokrasi. Misalnya, pemilihan lurah santri, dan ketua panitia dalam kegiatan-kegiatan tertentu.



[1] Wawancara dengan Drs. H. Hidayatullah, Ka Kandepag Pandeglang, tanggal 24 April 2007.

Pengunjung ke

Kontak

Alamat: